Sabtu, 17 Maret 2012

Parahyangan

Priangan atau Parahyangan
sering diartikan sebagai
tempat para rahyang atau
hyang Masyarakat Sunda
kuna percaya bahwa roh
leluhur atau para dewa
menghuni tempat-tempat
yang luhur dan hytinggi,
maka wilayah pegunungan
dianggap sebagai tempat
hyang bersemayam. Berasal
dari gabungan kata para-
hyang-an; para
menunjukkan bentuk jamak,
sedangkan akhiran -an
menunjukkan
tempat[rujukan?], jadi
Parahyangan berarti tempat
para hyang bersemayam.
Sejak zaman Kerajaan Sunda,
wilayah jajaran
pengunungan di tengah Jawa
Barat dianggap sebagai
kawasan suci tempat hyang
bersemayam. Menurut
legenda Sunda, tanah
Priangan tercipta ketika para
dewa tersenyum dan
mencurahkan semua berkah
dan restunya. Kisah ini
bermaksud untuk
menunjukkan keindahan dan
kemolekan alam Tatar Sunda
yang subur dan makmur.
Sebelum jatuh ke dalam
kekuasaan Mataram, wilayah
Priangan mencakup wilayah
antara sungai Cipamali di
sebelah timur dan sungai
Cisadane di sebelah barat,
kecuali wilayah Pakuan
Pajajaran dan Cirebon.
Setelah kekuasaan Kerajaan
Sunda di Pakuan
diruntuhkan oleh Kesultanan
Banten (1579/1580), wilayah
peninggalannya terbagi ke
dalam dua kekuasaan:
Kerajaan Sumedang Larang
dan Kerajaan Galuh.
Sumedang Larang yang pusat
pemerintahannya di
Kutamaya (wilayah barat
Kota Sumedang saat ini)
dipimpin oleh Prabu Geusan
Ulun (1580-1608).
Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda (1808-1942),
status Priangan adalah
karesidenan yang beribukota
Cianjur (namun kemudian
sejak tahun 1864 dipindahkan
ke Bandung). Dengan
masuknya Galuh (awal abad
ke-20), wilayah Karesidenan
Priangan bertambah:
Priangan menjadi 6
kabupaten; Cianjur, Bandung,
Sumedang, Limbangan,
Sukapura, dan Galuh.
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/
Parahyangan
Sampurasun...!
Kata "Parahyangan" yang
kemudian lebih sering
disebut dengan "Priangan"
pada prinsipnya menunjukan
sebuah tempat, sebab jika kita
menelusurinya melalui
bahasa "Sang Saka Kerta"
yang ditulis dalam aksara
Palawa kata Parahyangan itu
akan mengandung arti
sebagai berikut:
"Pa" artinya adalah tempat,
sedangkan "Ra" adalah sinar
dan kata "Hyang" boleh jadi
maksudnya "pemimpin yang
agung". Maka bila diartikan
secara bebas arti kata Pa-Ra-
Hyang itu adalah "Tempat-
Sinar-Pemimpin yang Agung"
atau "Tempat Pemimpin
Agung yang Bersinar".
Kata "para" dalam hal ini
tidak berarti jamak, seperti
pada kata "para hadirin, para
pemirsa, para sahabat, dst."
Kata "para" secara umum
digunakan juga untuk
menunjukan tempat yang
tinggi atau langit
(para=langit, lihat dalam kata
para-para atau langit-langit
yang letaknya di bawah
wuwungan yang artinya
suwung atau kosong).
Yang menyebabkan kata
"Parahyang" kehilangan
makna adalah ketika ia
dituliskan dalam susunan
dan bentuk kata "Para-hiang-
an" lalu disingkat jadi
"priangan".
Pa-Ra-Hyang yang
dimaksudkan pada dasarnya
bukan ditujukan bagi kota
Bandung secara menyeluruh,
namun khusus bagi wilayah
tempat lahirnya Salaka
Domas dan Salaka Nagara,
tepatnya disekitar Gn. Agung
(Gunung Tangkuban Pa-Ra-
Hu), maka dari itu kita
mengenal daerah "Lamba
Hyang atau Lembah Hyang
atau LEMBANG". Tempat
tersebut merupakan cikal
bakal lahirnya konsep
berkebangsaan dan ketata-
negaraan diseluruh dunia
yang di awali oleh Sang
Hyang Watugunung Ratu
Agung Manik Maya dengan
misi "Mula Sarwa Stiwa Dani
Kaya" (letaknya di sekitar
Gunung Batu daerah Buka
Nagara/Mula Nagara,
Lembang). Kemudian
dilanjutkan oleh Maharaja
Resi Prabhu Sindhu-La-Hyang
(Sang Hyang
Tamblegmeneng) yang
membangun padepokan
Jambudwipa...kelak konsep
ini dilanjutkan oleh Da-
Hyang Su-Umbi (Galuh
Kandiawati) dan
Mulawarman atau Si Tumang
(Resi Taruma Hyang), mereka
mendirikan Taruma Nagara
Desa.
Pernikahan antara Da-Hyang
Su-Umbi dengan Taruma
Hyang melahirkan Panca
Putra Dewa (Pandawa Putra)
yang membawa misi Ajaran
Dwipa (Dwipayana) maka
terbentuklah: Jawa-dwipa,
Swarna-dwipa, Simhala-
dwipa, Waruna-dwipa, dst.
hingga ke India.
Adapun Pandawa Putra
tersebut dikenal juga dengan
sebutan "Pancakusika" yang
terdiri dari :
1. Pangeran Nandiswara
(Sang Guru/Kuru Hyang =
Sangkuryang = Ganesha = Sri
Bima Sakti)
2. Pangeran Gargha
3. Pangeran Purusha
4. Putri Maestri
5. Pangeran Puntajala Hyang
(Dapunta Hyang/Gn. Puntang)
*Gunung = Guru nu Agung,
itu sebabnya bagi bangsa
Sunda sosok gunung menjadi
begitu penting karena
memiliki makna khusus.
"Hu" dalam kata "Parahu =
Pa-Ra-Hu" boleh jadi
bermakna TUHAN seperti
yang digunakan oleh bangsa
Arab (Yaa Hu), atau seperti
kata "Ra" yang digunakan
oleh bangsa Mesir
(masyarakat Mesir mengenal
dan menggambarkan sosok
Dewa Matahari sebagai Ra
dan Dewa Anubys yang
berkepala Anjing).
Musnahnya pemahaman
Bangsa Sunda terhadap
bahasa Salaka Domas dan
Salaka Nagara diduga
bersamaan dengan
'diserahkannya' istilah "Sang
Saka Kerta" kepada bangsa
India (versi sejarah Barat).
Orang Eropa menyebutnya
sebagai "Sanscrit", sedangkan
bangsa Melayu menyebutnya
dengan "Sanskerta".
Bukankah patung Sidharta
Gautama di candi
Borobudhur-pun tidak
berarti Sang Budha itu orang
Indonesia? Lihat pula
bagaimana ilmuwan Barat
mengganti nama "Kong Hu
Tzu" menjadi "Confucius".
Maka, demikian pula dengan
HU dan RA ataupun SANG
SAKA KERTA.
Apa dasarnya bangsa Sunda
harus tunduk kepada catatan
sejarah yang dituliskan oleh
bangsa Barat? sejujurnya
mereka tidak tahu apa-apa
tentang masa lalu Bangsa
Sunda Besar dan Sunda Kecil.
Kalaupun ada, pada
umumnya sudah dicampuri
unsur politik 3G - "Gold,
Gospel and Glor

Babasan jeng paribasa

Paribasa
Adat kakurung ku iga ( tabiat
atau kebiasaan yang sulit untuk
di rubah )
Adean ku kuda beureum
( sombong oleh barang
pinjaman atau milik orang lain )
Agul ku payung butut
( menyombongkan diri padahal
keadaannya tidak seperti itu )
Ngadu-ngadu raja wisuna
( menyulut amarah dua pihak
hingga berselisih )
Ulah ieu aing uyah kidul
( jangan merasa paling unggul )
Landung kandungan laer aisan
( orang bijaksana, banyak
pertimbangan )
Ngajul bentang ku asiwung
( suatu hal yang tidak mungkin
terjadi )
Mun teu ngakal moal ngakeul,
mun teu ngarah moal ngarih,
mun teu ngoprek moal nyapek
( jika tidak ada usaha, tidak
akan ada hasil )
Teng manuk teng anak merak
kukuncungan ( anak akan selalu
mencontoh orang tuanya )
Neukteuk mere anggeus
( memutuskan hubungan
silaturahmi )
Teu gugur teu angin ( tidak jelas
alasannya / tanpa sebab yang
jelas )
Anu burung diangklungan, anu
gelo didogdogan, anu edan
dikendangan ( mengiakan
ucapan orang sebagai bahan
olok-olokan )
Kawas anjing tutung buntut
( gelisah )
Ari diarah supana, kudu dijaga
catangna ( kalau mengharapkan
hasilnya, harus mau merawat
bakalnya )
Ngadaweung ngabangbang
areuy ( teringat kenangan indah
masa lalu )
Asa kabur pangacian ( kaget
hingga bingung untuk berbuat )
Asa ditonjok congcot
( mendapat kabahagianan yang
tak di sangka sebelumnya )
Nu asih dipulang sengit,
nunyaah dipulang moha
( menyakiti orang yang telah
berjasa )
Ati putih badan bodas ( hati
bersih tidak ada niat jahat )
Caang bulan opat belas
balungbang timur jalan gede
sasapuan ( hati bersih tidah ada
ganjalan sedikitpun )
Dikungkung teu diawur,
dicangcang teu diparaban
( dimiliki tetapi diterlantarkan )
Ngawur kasintu nyieuhkeun
hayam ( baik kepada orang lain,
keluarga sendiri diacuhkan )
Bobot pangayom timbang taraju
( dipertimbangkan dengan
seadil-adilnya )
Balung kulit kotok meuting
( ada dendam, tidak bersih hati )
Banda sasampiran nyawa
gagaduhan ( harta maupun jiwa
hanya milik Tuhan semata )
Saherang-herang cibeas ( masih
ada sisa sakit hatinya walaupun
sudah berusaha saling
memaafkan )
Ngadagoan belut sisitan oray
jangjangan ( menunggu sesuatu
yang tidak mungkin terjadi )
Bentik curuk balas nunjuk
capetang balas miwarang
( hanya bisa memerintah saja )
Beungeut nyanghareup ati
mungkir ( tidak tulus, munafik )
Sareundeuk saigel sabobot
sapihanean ( seia sekata )
Nu borok dirorojok nu gering
ditampiling ( menambah
kesulitan orang lain )
Lauk buruk milu mijah piritan
milu endogan ( ikut campur
urusan orang yang tidak ngerti
masalahnya )
Legeg lebe, budi santri, ari
lampah euwah euwah
( penampilan orang baik-baik,
padahal berprilaku tidak baik )
Tunggul dirarut catang di
rumpak ( menghalalkan segala
cara )
Neukteuk curuk dina pingping
( menghukum kerabat sendiri,
serba salah )
Ngeundeuk-ngeundeuk geusan
eunteup ( mencari akal untuk
menggantikan kedudukan
atasan )
Manan kapok anggur gawok
( semakin menjadi-jadi )